Akiyoshi Rikako: Girls in the Dark & The Dead Returns (half rambling, half review?)

Selamat malam! Akhirnya, setelah mengumpulkan niat dan semangat untuk memublikasikan sebuah tulisan lagi... sekarang, disinilah saya.

Mohon maaf sekali baru bisa update setelah sekian lama. Sebenarnya karena sekarang sedang liburan, seharusnya saya rajin-rajin mengupdate lagi ;; tapi sejujurnya justru karena liburan, presentase kemalasan dan kemageran saya malah meningkat drastis. :'D

Dan sekarang, *ahem* seperti di postingan saya sebelumnya, saya sudah janji akan mereview kedua buku Akiyoshi Rikako yang lain: Girls in the Dark dan The Dead Returns!




Yak, beberapa bulan yang lalu, Alhamdulillah bisa terbeli juga kedua novel tersebut walaupun belinya terpisah-pisah dan secara acak, hehe. (saya mulai membeli dari Holy Mother, kemudian Girls in the Dark dan baru The Dead Returns yang terakhir)

Lalu sebelum saya lanjutkan, postingan saya kali ini akan mengandung cukup banyak spoiler. Sudah saya peringatkan lho, ya. :)

[WARNING, MAJOR HEAVY SPOILERS] 


Girls in the Dark

Apa yang ingin disampaikan oleh gadis itu...?
Gadis itu mati.
Ketua Klub Sastra, Shiraishi Itsumi, mati.
Di tangannya ada setangkai bunga lily.
Pembunuhan? Bunuh diri?
Tidak ada yang tahu.
Satu dari enam gadis anggota Klub Sastra digosipkan sebagai pembunuh gadis cantik berkarisma itu.

Seminggu sesudahnya, Klub Sastra mengadakan pertemuan. Mereka ingin mengenang mantan ketua mereka dengan sebuah cerita pendek. Namun ternyata, cerita pendek yang mereka buat adalah analisis masing-masing tentang siapa pembunuh yang sebenarnya. Keenam gadis itu bergantian membaca analisis mereka, tapi....

Kau... pernah berpikir ingin membunuh seseorang? 

The Dead Returns

Suatu malam, aku didorong jatuh dari tebing. 
Untungnya aku selamat.
Namun, saat aku membuka mataku dan menatap cermin, 
aku tidak lagi memandang diriku yang biasa-biasa saja. 
Tubuhku berganti dengan sosok pemuda tampan yang tadinya hendak menolongku. 
Dengan tubuh baruku, aku bertekad mencari pembunuhku.

Tersangkanya, teman sekelas.

Total 35 orang.

Salah satunya adalah pembunuhku.

Karena saat itu Girls in the Dark yang saya dahulukan beli, saya akan membahas buku tersebut terlebih dahulu. 

Kesan saya setelah menyelesaikan novel pertama ini adalah unik, wah, ya ampun, dan tentu saja, tak terduga seperti biasanya. Kalau di ibaratkan dengan makanan (loh), mirip-mirip permen nano-nano. "Khas" Akiyoshi Rikako sekali. 

Yang menarik dari Girls in the Dark ini, di ceritakan dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Setiap tokoh (kecuali Hojo-sensei) menceritakan perspektif mereka mengenai kematian Shiraishi Itsumi, ketua klub sastra, yang "kononnya" mereka sayangi.

Ceritanya, semua anggota klub sastra kali ini di wajibkan untuk membaca naskah buatan mereka di saat acara Yami-Nabe dengan tema "Kematian Shiraishi Itsumi" atas saran (perintah?) Sumikawa Sayuri, sahabat dan juga ketua pengganti Shiraishi Itsumi.

Tentu hal ini membuat para anggota merasa tidak nyaman, tapi nyatanya mereka tetap menulis naskah dan menyelesaikannya.

Pada akhirnya, satu per satu anggota mulai membaca naskah buatan mereka secara bergiliran dalam gelapnya ruang klub sastra; lampu-lampu dipadamkan dan hanya berbekal sebuah lilin sebagai penerangan si pembaca naskah.

Namun, setiap naskah yang mereka bacakan justru merujuk pada tersangka pembunuh Shiraishi Itsumi dan secara "halus" menyindir serta saling tunjuk di antara mereka. Pembaca akan dibuat bingung dan bimbang, kira-kira siapa ya pembunuhnya? Siapa yang harus saya dukung? Sepertinya bukan dia, deh, pembunuhnya. Atau... jangan-jangan dia? --seperti itulah yang saya rasakan saat membaca dan larut dalam novel ini. Campur aduk. Tapi justru itulah daya tariknya yang saya suka. 

Dan sampai akhirnya giliran pembacaan naskah oleh Shiraishi Itsumi... tunggu, Itsumi? Bukannya ia sudah meninggal? Ya, Itsumi. Saya juga tidak menyangka kok, kalau ternyata Itsumi juga menulis naskahnya sendiri. Tapi ternyata, kebenaran yang sesungguhnya terkuak. Teka-teki kematian Shiraishi Itsumi terjawab sudah. Tidak ada pembunuh, semuanya adalah sebuah "drama" yang di perankan oleh Itsumi, dan ia menggunakan "kematian palsu" sebagai penutup. Yah, setidaknya pada awalnya.

Saya sebenarnya masih merasa denial, apakah benar Itsumi pada akhirnya meninggal, atau tidak? Tapi setelah membaca ulang bagian akhir, yaitu pada bagian naskah milik Sumikawa Sayuri, akhirnya saya beranggapan kalau Itsumi kini sudah tiada.

Dalam naskahnya, Sumikawa Sayuri menyebutkan kalau dialah yang memasukkan bunga lily, atau apalah itu yang berhubungan dengan bunga tersebut kedalam teko teh yang diminum oleh Itsumi yang ternyata mengandung ekstrak beracun jika dicampur dengan minuman (tentu saja). Itsumi tidak berprasangka apa-apa terhadap sahabat karibnya itu. Malangnya, Itsumi akhirnya meninggal di tangan sahabatnya, yang menginginkan "spot light" dan serta merta merebutnya secara paksa dari Itsumi.

Setelah merebut gelar "tokoh utama" yang telah lama ia inginkan, yang sudah lama terpendam dalam dirinya, ia juga harus merengkuh para "tokoh pembantu" agar ia bisa bertahan dalam gelar barunya tersebut. Dengan cara paksa, tentu saja. Ia juga ternyata sudah memasukkan ekstrak bunga lili kedalam pot yami-nabe, yang mungkin sudah hampir habis di santap oleh para anggota klub sastra. Saya sendiri menganggap ini adalah sebuah gertakan dan ancaman dari  Sumikawa Sayuri.

Entah bagaimana nasib kelanjutan para anggota klub sastra, namun target Sumikawa Sayuri tercapai sudah. Bad ending? Iya, sih. Tapi saya sendiri sudah cukup puas dengan akhir ceritanya.

Jika ditanya siapa tokoh favorit saya dari novel tersebut, saya akan memilih Sumikawa Sayuri.  Yah, bukan favorit juga sih. Kenapa antagonis? Kalau membicarakan antagonis atau protagonis... *batuk* sepertinya tidak ada tokoh protagonis ya. (kecuali para tritagonis serta Hojo-sensei dan Emma, saya benar-benar merasa kasihan pada mereka. Hojo-sensei, sudah tidak jadi menikah dan tinggal bersama Itsumi, ternyata kekasihnya itu sudah tiada dibunuh oleh sahabat Itsumi sendiri dan Emma, kakak yang malang.) 

Sumikawa Sayuri, gadis sakit-sakitan namun ramah dan cemerlang. Mampu menetralisir suasana. Parasnya hampir-hampir sebanding dengan Itsumi walau tidak secantik Itsumi. Setidaknya begitu yang terlihat pada luarnya. 

Didalamnya tersimpan kebusukan yang saya rasa, jauh lebih busuk daripada para gadis anggota klub sastra yang lain. Bayangkan saja, kebusukan itu sudah ia simpan dalam-dalam, tanpa ada yang menyadari bahkan orang yang paling dekat dengannya, dan ia menunggu waktu yang tepat untuk mengeluarkannya dan sesuai rencananya, mendapatkan apa yang ia inginkan. Entahlah mengapa ia menarik bagi saya, mungkin aura dan pembawaannya, ya? Saya juga sebenarnya memang  lemah terhadap tokoh fiksi wanita antagonis yang seperti ini, batuk.

Begitulah menurut saya tentang Girls in the Dark ini. Selain itu, cerpen bonus yang diselipkan didalam buku ini juga menarik dan... menghibur. Saya sampai senyum-senyum geli sendiri usai membacanya sampai tuntas. 

Dan, berikutnya. The Dead Returns.

Jujur, saya awalnya merasa ogah-ogahan dan hilang minat setelah membaca review dari sebuah blog yang menyebutkan kalau endingnya sudah terduga. Namun, akhirnya saya beli saja deh, karena selain penasaran, masa sih seterduga itu? Lagipula saya juga ingin melengkapi seri Akiyoshi Rikako ini, hehehe.

Alurnya maju. Tokoh favorit saya disini adalah Maruyama-san. Saya juga tidak menduga, tapi gadis ini... gadis ini pantas dilindungi. ( ; _ ; )

Lalu, OTP (One True Pairing) saya tentu saja si gadis kepang dua dan si main character yang di kucilkan, Maruyama-san dan Koyama! Adegan akhirnya membuat saya mengernyit sedih. Batin saya berteriak "Maruyama-saaaaaan!" ;;; benar-benar, saya tidak keberatan kalau pamannya di celakai, sungguh.

Apa yang saya sukai dari The Dead Returns juga bagaimana Akiyoshi Rikako menyinggung bunga disini. (Karena saya suka bunga hehe)

Kalau dipikir lagi setelah membaca ulang, mungkin memang endingnya sedikit obvious, ya? Tapi bagi saya entah bagaimana tetap tidak terduga. Mungkin karena saya lemot, bisa jadi. :'D Saya juga tidak mengira ternyata Maruyama-san begitu... Maruyama-saaaan ;;

Saya juga senang dengan ending The Dead Returns. Entah mengapa ikut bahagia ketika Koyama kembali ke kelasnya dan memberanikan diri untuk membicarakan isi hatinya; ingin mengakrabkan diri dengan teman sekelasnya. Saya tambah bahagia lagi ketika mengetahui Koyama semakin ingin maju setelah ia mengingat momennya bersama Maruyama-san. Benar-benar menyegarkan.

The Dead Returns, tidak sekelam dari yang saya kira. Kalau dibandingkan, mungkin inilah karya yang paling... cerah? Terang? Seperti itu. Sementara Girls in the Dark dan Holy Mother benar-benar kelam. Apalagi Holy Mother. Twisted ending, dimana pembaca dibuat bergidik bagaimana pembunuh sebenarnya tidak akan pernah tertangkap.

Akhir kata, moral yang bisa saya dapatkan dari kedua buku di atas: jangan menilai orang dari penampilannya. πŸ˜‚ Entah mengapa terasa sekali. Teman yang kita anggap seperti malaikat, ternyata iblis yang bisa sewaktu-waktu menikam kita dari belakang. (Waduh, nah loh)

Rating pribadi saya, 4 dari 5 bintang. Sangat, sangat, sangat layak untuk dibaca. Seandainya mampir ke toko buku, sempatkanlah menyambar novel-novel ini. Worth to buy. ;)

Dan lagi, saya hampir lupa. Girls in the Dark akan tayang sebagai movie yang seingat saya, akan rilis pada tahun 2017 mendatang dan bahkan, trailer-previewnya sudah ada. Cast juga sudah diumumkan. Besok kalau sempat, post ini akan saya update lagi untuk menyertakan trailer serta para pemeran dari gadis-gadis klub sastra beserta Hojo-sensei!

Baik, sekian dulu dari saya. Selamat malam dan sampai jumpa! :)

UPDATE:


Seperti yang sudah saya janjikan, berikut cast dan trailer dari Girls in the Dark.






Cast: 



Trailer:



Sumber: asianwiki.com

Comments

Popular Posts